Minggu, 27 Januari 2013




Kemanusiaan harus diutamakan dalam menghadapi konflik antaragama thumbnail
Gunnar Stalsett


Berhadapan dengan konflik-konflik kekerasan berlatar belakang agama, agama-agama perlu terus memperkuat kesadaran untuk membangun landasan yang sama, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai titik tolak agar konflik tidak terus membara dan semakin banyak manusia yang menjadi korban hanya karena persoalan perbedaan agama, demikian kata Gunnar Stalsett, ketua Dewan Para Pemimpin Agama Eropa (European Council of Religious Leaders) di Jakarta kemarin.
Stalsett yang berbicara dalam dialog bertajuk “Hubungan Antara Dialog Antaragama dan Kebebasan Beragama” di Centre for Dialog and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan dihadiri sejumlah duta besar, pimpinan agama, aktivis dan akademisi mengatakan, konflik antaragama di seluruh dunia tidak akan berakhir selama agama-agama masih terus tidak menyadari landasan bersama tersebut, tetapi reaktif dalam menghadapi konflik dan kemudian membalas setiap bentuk kekerasan dengan kekerasan pula.
“Bila semua agama memiliki landasan yang sama, yang saling menghargai dan memikirkan nilai kemanusiaan, maka ketika ada konflik kita tidak duduk di meja dan kemudian berdebat dan menuduh siapa yang benar, siapa yang salah, lalu bertanya siapa yang mesti dibunuh. Yang kita lakukan adalah berefleksi, mencari solusi dari setiap agama, bagaimana menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dan kemudian mengambil langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan bersama-sama”, kata Stalsett yang juga Anggota Komite Penghargaan Nobel Perdamaian (Noble Peace Prize
Committee).
Ia menilai, umumnya konflik antaragama tidak dipicu oleh persoalan ajaran setiap agama, tetapi lebih banyak karena persoalan lain dalam kehidupan bersama, namun agama kemudian dibawa-bawa dan seolah-olah menjadi faktor utama penyebab konflik.
“Dimana-mana seringkali terjadi, penyebab konflik bersumber pada masalah ekonomi, sosial, politik, namun agama kemudian dibawa-bawa. Karena itu, misalnya ada istilah perang antara dunia Barat dan Islam, seolah-olah ada perang abadi antara Islam dengan Barat, yang diidentikkan dengan penganut agama Kristen. Padahal, penyebab sebenarnya adalah masalah politik dan ekonomi”, katanya.
Untuk meredam konflik, jelasnya, pemimpin agama di seluruh dunia perlu terus menjalin dialog dengan pengikut agama lain, dalam berbagai bentuk.
Stalsett juga menilai, pendidikan selalu menjadi sarana efektif dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang menunjang realisasi keharmonisan relasi antaragama.
“Pendidikan agama sangat berperan penting, baik yang formal maupun yang informal. Apa yang dipelajari seseorang dari pendidikan agamanya akan sangat mempengaruhi cara pandanganya terhadap agamanya sendiri, agama orang lain dan hal itu akan mempengaruhi praksisnya”, jelas warga Norwegia ini.
Din Syamsuddin, ketua Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) mengatakan, selain relasi antaragama, hal yang juga sangat penting adalah relasi intra-agama.
“Sebagai contoh, dalam agama Islam sendiri, dengan begitu banyaknya organisasi, ada banyak hal yang berbeda dalam ajaran. Karena itu dialog intra-agama sendiri juga penting. Kalau relasi intra-agama belum ditata dengan baik, maka berhadapan dengan agama lain pun pasti terjadi konflik”, kata Syamsuddin, yang juga ketua umum PP  Muhamadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.
Syamsuddin yang juga ketua CDCC mengatakan, bila semua agama bisa menjalin relasi yang harmonis dan di dalam masing-masing agama juga tidak terjadi perpecahan, maka semua agama bisa bersama-sama menciptakan musuh bersama.
“Musuh kita bukan lagi agama lain, tetapi kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran HAM dan semua bentuk kejahatan”, kata Presiden Asia Committee on Religions for Peace ini.
Sementara itu, Theophilus Bela, sekertaris jenderal Indonesian Committee Religion for Peace mengatakan,  dalam relasi antaragama, hal yang juga perlu diberi perhatian serius adalah keberadaan kelompok-kelompok garis keras.
“Kita yang berada di ruang diskusi seperti ini tentu bisa dengan mudah menjalin relasi yang harmoni dan mungkin bisa dengan mudah juga mewujudkan kemanusiaan sebagai basis bersama. Namun, yang sering menjadi persoalan adalah kaum radikal yang memotori aksi kekerasan dimana-mana. Mereka ada di setiap agama”, katanya.
Karena itu, menurutnya, pemimpin agama-agama yang moderat perlu merangkul kelompok-kelompok garis keras.
“Tantangan setiap agama, bagaimana menghadapi mereka. Kelompok radikal jumlahnya kecil tapi mereka mampu menyebar kebencian sampai kemana-mana, bahkan bisa mempengauhi seluruh dunia. Lihat saja dengan fenomena film Innocence of Muslims beberapa waktu lalu dan juga aksi pembakaran Alquran oleh Pendeta Terry Jones di Amerika Serikat”, tegasnya.